Senin, 16 Maret 2009

Berlomba Menjadi Miskin


Telah lama pemerintah memiliki berbagai program penanggulangan kemiskinan. Katakalah mulai dari penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan, program di tingkat kecamatan dan urban poor yang dibiayai oleh Bank Dunia, Kredit Usaha Tani (KUT), hingga kini dengan beras miskin (Raskin), jaring pengaman sosial (JPS), kartu gakin (keluarga miskin), pendidikan bagi siswa miskin, dan lain sebagainya. Ditambah dengan Millenium Development Goal (MDB), yang menjadi kampanye di tingkat global, melibatkan vokalis group band U2, Bono, maka lengkaplah sudah ragam program tersebut.

Semuanya atas inisiatif pemerintah, kebijakan top down yang harus dilaksanakan hingga pedesaan. Program dilaksanakan sepenuhnya dengan subsidi pemerintah. Karenanya, siapa bilang pemerintah, mulai dari era Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan kini SBY-Kalla (harus disebut berbarengan, karena merupakan satu paket), tidak memiliki perhatian terhadap persoalan kemiskinan? Semuanya prihatin dan menempatkan pemberantasan kemiskinan sebagai program terdepan.

Lantas apa yang salah? Setiap hari di surat-surat kabar selalu termuat berita mengenai kemiskinan, mengenai siswa sekolah yang berniat bunuh diri karena tak mampu membayar uang sekolah, atau karena tak memiliki cukup uang untuk ikut darmawisata sekolah. Ada pula berita tentang ijazah kelulusan sekolah dasar yang disandera oleh pihak manajemen sekolah selama tiga tahun, karena tak mampu membayar biaya sekolah yang tertunggak. Disisi lain, pemerintah setiap hari pun menggembar-gemborkan berbagai program ampuh guna menanggulangi kemiskinan.

Sejak awal sejarah banyak orang yang mempercayakan penghapusan atau upaya pengurangan kemiskinan kepada negara. Namun yang acap pula terjadi, bukanlah solusi mujarab yang mereka jumpai melainkan bertambahnya kesengsaraan masyarakat.

Resep mujarab yang acap disodorkan adalah “bagaimana memberi sedikit kemakmuran dari orang kaya kepada si miskin.” Resep ini memiliki ribuan formula, namun muaranya tetaplah sama, memindahkan sedikit yang dimiliki si kaya kepada si miskin. Kemakmuran harus “dibagi,” harus “didistribusikan,” harus “diseimbangkan.” Apa yang ada didalam kepala para pengusul resep ini bukanlah persoalan kemiskinan, melainkan persoalan “ketidaksetaraan.”

Kenapa tidak berfikir seperti pemenang hadiah Nobel asal Banglades, Muhammad Yunus, yang memberikan resep “kesempatan,” melalui pemberian kredit lunak. Atau kita memang kapok dengan apa yang pernah terjadi pada kredit usaha tani (KUT)-nya Adi Sasono? Namun kata bijak lama yang kita kenal , “lebih baik memberikan pancing (dan umpannya ) daripada memberikan ikan,” mungkin masihlah relevan.

Pemerintah terlalu banyak ikut campur tangan langsung tanpa tahu apa yang seharusnya dilakukan. Maka muncullah berbagai program yang bersifat “charity.” Pembagian beras murah lah, pembagian minyak goreng murah lah, kompor gas murah lah, membuat kementerian negara pembangunan daerah tertinggal lah, kimpraswil lah dan sebagainya-dan sebagainya, yang notabene hanya melahirkan rangkaian birokrasi baru dan menjadi beban negara. Bayangkan berapa besar uang yang terkumpul, yang dapat digunakan bagi pembangunan infrastruktur atau membuka pabrik baru, dari pengurangan atau penutupan kantor-kantor cabang kimpraswil yang ada di daerah. Belum lagi menutup kementerian yang ada di Jakarta. Semuanya hanya menjadi beban pengeluaran negara. Padahal program yang diusulkan guna menanggulangi kemiskinan dan membuka daerah yang tertinggal adalah membangun infra struktur. Lah….tanpa kementerian negara ini, Departemen Pekerjaan Umum seharusnya sudah lebih tahu?

Maka tak lah heran masyarakat kita semuanya berlomba menjadi miskin. Tak malu berdemonstrasi “menyatakan” miskin” karena terlambat mendapatkan “kartu tanda penduduk miskin.” Surat miskin yang dikeluarkan RT/RW hingga kelurahan dan desa pun menjadi lahan subur pencatutan. Untuk mendapatkan sekolah tinggi gratis yang disediakan oleh pemerintah daerah Musi Banyuasin pun harus membuktikan sebagai penduduk miskin. Kata “miskin” menjadi kunci. Bukan lagi kemauan dan jerih upaya./http://thamrin.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar