Minggu, 08 Maret 2009

Ketika Aliran Transnasional Menjalar di Kampus


Jumat, 06 Maret 2009
Ketegangan Politik di Timur Tengah (4-Habis)
Ketika Aliran Transnasional Menjalar di Kampus

Oleh: MOHAMAD GUNTUR ROMLI, Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Aktivis Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta

Pengalaman IM di Mesir yang pecah menjadi dua faksi: yang �pragmatis� dan �konfrontatif� terulang di Indonesia. Melalui kelompok yang didirikan oleh Kartosuwiryo DI/TII yang gagal melakukan konfrontasi bersenjata. Kegagalan ini membelah tubuh DI/TII, ada faksi yang mulai �pragmatis� memilih perlawanan tak langsung, dengan membangun gerakan-gerakan dakwah di kampus-kampus, yang dikenal sebagai kelompok-kelompok Usroh dan lembaga dakwah kampus (LDK). Pengkaderannya mengambil model IM di Mesir, dan memopulerkan buku-buku Hasan al-Banna dan Yusuf al-Qaradlawi (tokoh IM yang �pragmatis�).

Karena tokoh-tokoh IM Mesir mendapat simpati dan bantuan penuh dari Dinasti Saudi (mereka dirangkul karena menjadi musuh rejim nasionalis Arab yang sekuler: musuh utama Dinasti Saudi juga), maka, gerakan-gerakan dakwah kampus di Indonesia pun mendapat dukungan dana dari DDII. Pada Reformasi 1998 kelompok ini mendeklarasikan satu partai: Partai Keadilan dan sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Sementara faksi lain yang memilih jalur �konfrontasi radikal� dari DI/TII, mengambil pola pengkaderan Jamaah Islamiyah Mesir dengan memopulerkan buku-buku Sayyid Qutb dan Abdus Salam Faraj al-Far�dah al-Gh�ibah (Kewajiban yang Hilang) buku yang mematok perang sebagai jihad. Faksi ini pun bermetaformosis menjadi Jamaah Islamiyah di Indonesia yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba�asyir (menurut pengakuan Nasir Abbas), hingga berdirinya MMI. Terakhir, Abu Bakar Ba�asyir ditendang dari MMI (dituding mirip syiah, ahmadiyah dan komunis) dan mendirikan kelompok Asharut Tawhid.

***

Kelompok-kelompok Islam gaya baru inilah yang saat ini menyita banyak perhatian kita. Tentu saja saya tidak ingin mengeneralisir kekhasan dan perbedaan yang ada dalam tiap-tiap aliran dan kelompok Islam itu.

Saya tidak ingin terjebak menyebut mereka dengan pelbagai istilah misalnya istilah fundamentalisme Islam, radikalisme Islam, Islamisme, Islam Politik, Islam Puritan, Islam Salafi dll hingga Teorisme atas nama Islam. Di samping istilah-istilah tadi mengandung sejumlah kontradiksi, satu istilah tidak bisa menyebutkan secara tepat ideologi dan gerakan mereka karena kompleksitas kelompok-kelompok tersebut.

Namun saya ingin menarik garis-garis persamaan yang bisa kita jumpai dalam kelompok-kelompok tersebut. Pertama, kelompok Islam gaya baru itu lahir dari ketegangan, perebutan kekuasaan, hingga konflik yang ada di Timur Tengah. Kita akan menjumpai geneologi, akar-akar, dan sebab-musabab munculnya kelompok-kelompok itu di beberapa kelompok di Timur Tengah. Selain itu, represi yang pernah ada di Indonesia sejak rejim Orde Lama hingga Orde Baru ikut menjadi pemicu lahirnya kelompok-kelompok itu sebagai bentuk perlawanan bawah tanah. Dan baru di era Reformasi ini mereka bisa bebas dan leluasa muncul.

Kedua, kelompok-kelompok itu memiliki ciri khas: tertutup, merasa benar sendiri, gemar mengafirkan, tidak mengakui keanekaragaman, dan menuntut penyeragaman. Dan yang lebih gawat lagi mereka menganjurkan hingga melakukan tindakan kekerasan. Fanatisme dan mudah mengafirkan menurut Syekh Najih Ibrahim seorang tokoh JI di Mesir yang telah �bertaubat� disebut sebagai �terorisme pemikiran� yang lebih berbahaya dari �terorisme fisik� (innal irh�b al-fikr� asyaddu takhw�fan wa tahd�dan minal irh�b al-hiss�).

Ketiga, karena kelompok-kelompok ini baru hadir di Indonesia, maka sekali lagi: mereka mengalami keterputusan sejarah dari ormas-ormas Islam yang pernah melahirkan Republik ini. Akhirnya kelompok-kelompok ini melakukan konfrontasi baik secara �ekstrim�: melakukan tindakan terorisme dan kekacauan, upaya kudeta berdarah, mengharamkan demokrasi dan ideologi bangsa, atau yang bersikap lebih �akomodatif�: menerima prosedur demokrasi seperti Pemilu, namun kalau mereka menang: akan mengubah dasar dan bentuk negeri ini.

Ujung-ujung dari kelompok ini adalah perebutan kekuasaan, karena itulah mereka tidak pernah peduli terhadap khidmah pada masyarakat, berbeda dari ormas-ormas Islam lama yang membangun pusat-pusat pendidikan (pesantren, sekolah, universitas) layanan-layanan sosial dan ekonomi. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar