
Soeharto adalah presiden yang ngotot memperjuangkan petani dan swasembada beras. Sisi positifnya, Indonesia sempat menjadi eksportir pada tahun 1984. Selain menghemat banyak devisa, kehidupan petani yang mewakili kelas bawah kian terlindungi dan diperhatikan. Segi negatifnya, kita jadi terlalu bergantung pada beras. Makanan “asli” Indonesia lain seperti jagung, sagu, singkong, dan lainnya perlahan mulai terabaikan.
Kompas Sabtu (25/11) lalu menulis tentang beras dan kemiskinan yang melanda petani. Saat sekarang, ongkos produksi beras membumbung tinggi. Harga jual beras menjadi sulit dijangkau rakyat miskin. Di beberapa daerah, petani malah jatuh miskin karena terlilit ijon.
World Bank menawarkan “solusi” dengan membuka keran impor karena 3/4 kaum miskin adalah konsumen bersih (net consumer) beras. William Wallace, lead economist World Bank Indonesia, mengatakan kenaikan harga beras sebagai faktor utama penyebab meningkatnya kemiskinan Indonesia.
Sementara itu, Siswono Yudo Husodo, Ketua Dewan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, meminta pemerintah agar tidak memedulikan argumen Bank Dunia; jangan ragu meningkatkan produksi beras dan menganggap hasil penelitian itu sebagai jebakan luar negeri.
Di kesempatan lain, Mohammad Ikhsan, Staf Ahli Menko Perekonomian, mengemukakan bahwa kenaikan harga beras hanya akan menguntungkan tak sampai 20% rumah tangga karena 80% penduduk net consumers.
Polemik Impor Beras
Menurut prinsip ekonomi, kalau kita bisa membeli dengan harga lebih murah dan kualitas lebih baik, mengapa memaksakan diri memproduksi sendiri? Lebih baik kita beli produk orang lain. Selanjutnya resource yang kita punya bisa kita alihkan ke aktifitas produktif yang lebih kita kuasai. Vice versa. Ini simpel dan basic banget.
Kemudian soal kebijakan pembatasan impor pemerintah (baik itu pelarangan, penetapan kuota/tarif, dsb) sebenarnya hanya menguntungkan sekelompok tertentu/bisnis tertentu namun menjadi beban bagi banyak orang dalam jangka panjang. It benefits special interests at the expense of everyone else. Walau begitu, toh ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan Korea Selatan, Jepang, Amerika, atau Eropa pun masih memberi proteksi bagi produk-produk pertaniannya.
Pertanyaanya adalah apakah dalam hal impor beras kita akan menganut asas pasar bebas atau kita kecualikan demi keberpihakan?
Perdagangan luar negeri selalu berbicara soal trade-off. Impor beras membuat kita menikmati hasil yang lebih murah dan kualitas lebih baik. Negatifnya, produksi petani tidak terserap dan kesejahteraannya otomatis akan menurun. Tapi tentunya tidak sesederhana itu karena tali temali dan interaksi antara komponen demand dan supply cukup rumit yang kemudian menciptakan equilibrium di sistem ekonomi kita. Kalau dilihat dari sini, tentunya harus dipertanyakan apakah kebijakan ekonomi memberi nilai tambah maksimal bagi ekonomi secara keseluruhan atau tidak.
Sayangnya, untuk menghitung nilai tambah tersebut, seringkali pengambil keputusan menggunakan pertimbangan non ekonomi yang bersifat relatif — bukannya angka/statistik akurat. Misalnya, kita menggampangkan masalah dengan mengambil average dari konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia. Konsekuensi dari simplikasi ini: 1) seluruh penduduk diasumsikan makan beras, dan 2) competing products seperti jagung, sagu, dsb dianggap nihil.
Apa eksesnya kalau hitungan kita salah? Dalam equilibrium economics, intersection tercapai bukan dari supply (produksi), melainkan availability barang. Dalam hal ini, inventory (backlog) merupakan faktor yang jauh lebih menentukan dalam pembentukan harga dan regulating demand. Ketika kita mengalami swasembada beras, sebenarnya terdapat misleading swasembada itu tak pernah terjadi. Beras saat itu memang banyak datang dari proyek sumbangan Amerika. Di sisi lain, Bulog terus membeli dari petani.
Akibatnya, terjadi masalah dengan penyimpanan dan cost holding inventory naik. Kita kelebihan stok dan terjadilah ekspor beras Indonesia. Setelah proyek sumbangan dihentikan, kita baru sadar bahwa sebenarnya kita kurang beras. Dua tahun kemudian kita berubah menjadi net importer.
Beras itu Tanaman Politik
Kita selalu dicekoki seolah-olah beras adalah segalanya. Padahal, orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri dan jarang (tidak pernah) makan nasi tetap sehat-sehat saja.
Selain itu, padi sebenarnya tanaman pangan utama yang sangat boros air. Untuk menghasilkan beras 1 ton diperlukan sekitar 19 ribu liter air. Amerika dan Australia pernah mengadakan penelitian yang membuktikan bahwa air yang digunakan untuk bertanam padi adalah pemborosan tertinggi secara output GDP.
Bicara soal penyerapan angkatan kerja, di Indonesia sektor pertanian menyumbang 46,5% tenaga kerja tetapi hanya menghasilkan 14,7% GDP. Tak bisa dipungkiri bahwa petani (dan keluarganya) adalah konstituen penyumbang suara terbesar di negeri ini. Melihat angka tersebut, proteksi petani kemudian lebih terkait dengan sistem dan mekanisme politik — terutama dalam strategi memperoleh dukungan suara. Petani lebih sering tersebar dalam wilayah yang luas, terpencil, berpenduduk jarang, dan homogen. Padahal kita tahu bahwa peta politik selalu dibagi berdasar wilayah.
Karena jumlah suara per populasi penduduk menjadi jauh lebih rendah, aspirasi politik mereka cenderung gampang dimobilisasi. Bandingkan dengan profesi lain yang umumnya terkonsentrasi di daerah urban, berpenduduk padat, dan heterogen. Aspirasi politik mereka susah sekali dimobilisasi dan tidak cost efficient. Politisi otomatis terdorong memilih untuk membelai kaum petani agar tak berpaling ke lain hati dan menggolkan agenda politik mereka.
Tak hanya di Indonesia, di Amerika kita mengenal Corn Belt America. Di Eropa atau Jepang pun petani juga dipandang sebagai sumber kekuatan politik — ketimbang mempertimbangkan rasionalitas konsumen. Politik beras (agrikultur) semacam ini jelas teramat mahal harganya dan menimbulkan distorsi pasar.
Risikonya, kepentingan konsumen dan pembayar pajak dikorbankan. Pajak digunakan untuk mensubsidi dan memproteksi petani. Harga pertanian lebih mahal daripada semestinya. Kalau bahan pertanian dijamin akan dibeli pemerintah dengan harga tertentu, otomatis petani akan overproduksi tanpa peduli apakah sepadan dengan demand atau tidak.
Itulah sebabnya negara yang gila politik biasanya cenderung susah ekonominya — karena ongkos ekonomi memang sering diabaikan dalam realita politik.
Nasi Ternyata Juga Bikin Kita Bodoh
Ketimbang mengkonsumsi protein, kita termasuk boros memakan karbohidrat, terutama nasi dan mie instan. Selain terkenal sebagai pemakan nasi yang akut, bangsa kita juga tercatat sebagai pengkonsumsi mie per kapita terbesar di dunia setelah Korea. Mungkin wajar, karena kita membutuhkan banyak tenaga otot ketimbang tenaga otak.
Karbohidrat memang fungsi utamanya menghasilkan tenaga bagi tubuh. Tapi ada karbohidrat yang cepat sekali diolah menjadi tenaga, juga ada karbohidrat yang lebih lama diolah tubuh. Nasi termasuk golongan karbohidrat pertama. Sementara gandum, kentang, dan sebagainya termasuk golongan karbohidrat kedua.
Terlalu banyak memakan karbohidrat yang terlalu cepat diolah tubuh jelas tidak baik. Ketika kita tidak lagi membutuhkan tenaga otot melainkan tenaga pikiran, tenaga yang kadung terbentuk segera diubah menjadi lemak. Selain menjadi tumpul dalam pikiran, kita juga jadi gampang mengalami kegemukan.
Orang Indonesia rata-rata mengkonsumsi nasi sebanyak 136,5 kg/tahun. Angka ini terbesar di dunia. Orang Indonesia tanpa nasi dianggap belum makan. Bahan makanan lain seperti protein, mineral, dan vitamin jadi kurang asupannya. Nasi sentris, selain boros, juga membuat postur tubuh rata-rata orang Indonesia lebih pendek dari bangsa lain yang konsumsi proteinnya lebih tinggi.
Kalau melihat upah minimum Amerika sebesar $5,15 per jam, maka diperlukan hanya 30 menit buat orang miskin Amerika untuk bisa membeli sepotong Big Mac. Bandingkan dengan UMR Jakarta sebesar Rp 816 ribu per bulan atau sekitar Rp 4.000 per jam. Orang miskin di Indonesia harus bekerja setidaknya 1 jam untuk bisa makan satu kali.
Nah, mencari sumber makanan yang bergizi adalah urgent. Namun, menurunkan komponen biaya dasar tersebut bagi masyarakat golongan kecil juga penting.
Ada pola dasar bahwa semakin miskin penduduk suatu negara, maka semakin besar porsi belanja makanan mereka. Kalau kita ingin meningkatkan kesejahteraan kita, maka kurangi porsi belanja makanan kita. Alternatifnya bisa dengan mengurangi porsi makan atau memilih makanan dengan komposisi gizi yang lebih baik dan harga lebih murah.
Gandum sebagai Alternatif
Gandum adalah bahan komoditi yang cukup banyak digunakan di berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari roti, kue, biskuit, sereal, mie, martabak, chappati, bakpao, pizza, croissant, dan sebagainya.
Bagaimana dengan harga dan komposisi gizinya?
Harga gandum menurut pasar komoditi LIFFE sekitar $175 per ton untuk kualitas terbaik. Harga beras lokal kualitas medium sekitar Rp 5.000/kg atau setara $550 per ton.
Menurut Nutrition Data, kandungan energi nasi sekitar 97 kalori per 100 gram. Sementara kandungan energi roti sekitar 361 kalori per 100 gram.
Kebutuhan energi minimal seorang manusia dalam sehari sekitar 2.000 kalori. Ini bisa dipenuhi dengan 2 kg beras (setara Rp 10.000) atau dengan 500 gram gandum (setara Rp 800).
Walaupun kandungan kalorinya lebih tinggi, membuat roti membutuhkan lebih sedikit volume gandum/terigu daripada membuat nasi yang membutuhkan volume beras yang lebih banyak. Di sini terlihat jelas bahwa beras/nasi jelas kurang ekonomis dibandingkan roti/gandum.
Menurut data Bogasari, konsumsi gandum Indonesia per kapita hanya sebesar 15 kg. Jauh di bawah Singapura (71 kg) atau Malaysia (40 kg).
Asumsikan fisiologis perut orang Indonesia dengan orang Singapura/Malaysia sama, maka seharusnya pengurangan konsumsi beras oleh orang Indonesia — dan menggantinya dengan gandum — sebenarnya mudah dilakukan.
Lalu, Bagaimana Cara Menolong Petani?
Meningkatkan kesejahteraan petani dan kaum marjinal lainnya jelas penting. Tapi tidak selalu menghentikan impor beras dan memproteksi pasar beras otomatis akan menolong petani. Sebaliknya, membuka impor beras seluas-luasnya juga tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan kaum marjinal.
Perlu diingat juga bahwa tidak semua rakyat adalah petani. Harga beras terlalu mahal akan memusingkan rakyat kecil non-petani, seperti kaum miskin kota. Jumlah mereka mencapai puluhan juta dan komponen biaya hidup mereka masih berkutat di level subsistensi dengan pos pengeluaran makanan sebagai komponen terbesar.
Ingat juga soal inflasi. Beras adalah komponen pembentuk inflasi yang signifikan. Inflasi naik tinggi, rakyat kecil (dan petani juga) akan terkena dampaknya. Sekalipun petani mengalami perolehan panen yang meningkat, uang yang diperoleh petani akan turun daya belinya sehingga komponen biaya untuk menanam padi pada musim berikutnya menjadi lebih mahal.
Ingat pula bahwa petani adalah penghasil gabah, bukan penghasil beras. Beras justru dipegang oleh pedagang dan saudagar beras yang umumnya beroperasi ala kartel. (Tetangga saya adalah saudagar beras, dan saya cukup tahu betul soal ini.)
Membiarkan sektor pertanian dalam produktifitas rendah dan tidak berdaya saing juga bukan merupakan pilihan bijak. Cepat atau lambat, produk pertanian akan dibuka karena paksaan WTO maupun gerilya produk selundupan.
Juga, jangan terlalu terjebak dengan retorika politik “bela si X” atau “bela kepentingan Y”. Kita harus sadar bahwa semakin berkembang ekonomi suatu negara, maka semakin sedikit jumlah tenaga kerja yang terlibat dan semakin meningkat jumlah hasil produksinya. Hasil meningkat berarti harga menurun karena konsumsi makanan umumnya statis. Ekonomi Indonesia tak mungkin berkembang jika lapangan kerja terkait semata pada sektor pertanian dan pemenuhan kebutuhan subsisten.
Dari faktor-faktor di atas, akan muncul skala ekonomis yang secara gradual akan menjadi mekanisme untuk menyeleksi petani. Hanya petani yang benar-benar kompeten yang akan bisa dipertahankan. Dengan demikian, petani menjadi lebih produktif (sejahtera) dan rakyat (konsumen) bisa mendapatkan produk yang lebih baik dengan harga lebih terjangkau.
Konklusinya?
Impor beras dan komoditi pangan lainnya (seperti gula misalnya) sudah berulang kali menimbulkan polemik. Dari segi data, jumlah beras yang diimpor tidak lebih dari 5% kebutuhan pangan nasional, sehingga tidak cukup signifikan untuk mempengaruhi pasar.
Namun, nuansa manipulasi memang cukup terasa karena ketika ijin resmi baru keluar via sidang kabinet, pada saat yang hampir bersamaan, beras sudah sampai di Tanjung Priok dan siap bongkar.
Melihat jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang hampir mencapai setengah dari total tenaga kerja namun hanya menyumbang sedikit GDP, sebenarnya menunjukkan bahwa sistem pertanian kita masih subsisten, produktifitas rendah, dan akhirnya mayoritas petani hidup di bawah garis kemiskinan.
Impor beras mungkin bisa mengatasi masalah karena akan membawa keuntungan bagi konsumen yang akan memiliki kesempatan untuk memilih produk yang paling baik dengan harga paling murah. Tentu dengan syarat bahwa mekanisme pasar dijalankan dengan fair.
Selain itu, pemerintah seharusnya mulai membuat produk pertanian tidak lagi menjadi produk generik. Produk lokal seperti beras cianjur atau pandanwangi semestinya bisa dikelola menjadi produk unggulan dengan nilai jual tinggi. Kedua, pemerintah juga perlu mereformasi strategi portfolio pangan rakyat, terutama karbohidrat yang sangat nasi sentris.
Memang benar. Mengubah budaya kita dari makan nasi menjadi makan roti, jagung, singkong, sagu, atau lainnya jelas tidak semudah diucapkan. Pun, tidak semua petak tanah di Indonesia cocok ditanami gandum. Industri gandum juga bukan industri rumahan dengan daya serap tenaga kerja yang tinggi. Untuk menggeser padi kepada gandum jelas memerlukan social cost yang tinggi.
Tapi roti/gandum terlihat jauh lebih ekonomis dan lebih sehat sebagai makanan pokok. Jagung, singkong, sagu, kentang, atau lainnya juga terlihat lebih reasonable daripada memaksakan nasi di seluruh penjuru tanah air. Padahal hanya Jawa (terutama Jawa Barat dan Jawa Tengah) yang cocok ditanamai padi.
Jangan-jangan orang Indonesia benar-benar menjadi miskin dan bodoh karena terlalu banyak makan nasi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar