Senin, 16 Februari 2009

Markup di Loket, Pungli di Poli


Puskesmas merupakan ujung tombak pemerintah dalam pelayanan kesehatan. Agar bisa dijangkau seluruh masyarakat, tarif pelayanan di instansi itu dibuat sangat murah. Sayang, murahnya tarif tersebut justru memicu tumbuh suburnya biaya tak resmi alias pungli.

-----------------

Berdasar Perda Nomor 11 Tahun 2003 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kota Surabaya, tarif berobat di puskesmas kota ini memang sangat murah. Cukup dengan membayar Rp 2.500, pasien sudah mendapatkan pemeriksaan kesehatan. Biaya tambahan resmi muncul ketika pasien tersebut membutuhkan tindakan medis lanjutan. Misalnya, cabut gigi atau operasi kecil.

Besarnya tarif tindakan medis lanjutan juga bermacam-macam, tapi tetap murah. Contohnya, cabut gigi sulung hanya Rp 2.500 dan cabut gigi permanen Rp 7.500. Yang perlu diingat, setiap membayar tarif pelayanan kesehatan, pasien harus mendapatkan karcis retribusi. Khusus masyarakat pemegang kartu identitas keluarga miskin (KIKM) tidak dikenai biaya setiap pengobatan.

Pada praktiknya, sejumlah puskesmas di Surabaya memberlakukan tarif retribusi di luar ketentuan perda. Jawa Pos telah menelusuri lima puskesmas di kota ini dan menemukan fakta kelimanya memberlakukan pungutan tak resmi. Polanya saja yang berbeda-beda.

Di Puskesmas Krembangan Selatan, pasien baru disebut-sebut harus membayar tarif retribusi Rp 5.000. Padahal, tarif resminya hanya Rp 2.500. Untuk membuktikan pemberlakuan tak resmi itu, Jawa Pos mencoba menjadi pasien di Puskesmas Krembangan, Senin (14/7), pukul 11.10. ''Maaf, loketnya sudah tutup. Tutupnya jam sebelas,'' ujar salah seorang petugas.

Entah mengapa, tiba-tiba petugas tersebut memberi isyarat bahwa puskesmas masih dimungkinkan menerima pasien. Dia pun terlihat berbincang-bincang dengan petugas lain di loket tersebut. Akhirnya, loket dibuka lagi. ''Pasien baru ya? Alamatnya mana?'' kata petugas laki-laki itu ramah.

Setelah mencatat nama dan alamat di kartu merah (kartu berobat keluarga), si petugas menyalin nama dan alamat tersebut dalam buku lain. ''Mbayar-nya Rp 5.000, Mbak,'' ujarnya.

Tarif yang dibebankan petugas tersebut jelas tidak sesuai perda. Apalagi, jelas-jelas di kartu retribusi itu tertera Rp 2.500. Setelah membayar, Jawa Pos dirujuk ke poli umum. Di situ, petugas puskesmas langsung menanyakan sakit yang diderita. Kepada petugas, Jawa Pos mengaku sakit mag. ''Pasti telat makan ya?'' ujarnya ramah.

Usai memeriksa tekanan darah dan melontarkan sejumlah pertanyaan, petugas tersebut meminta biaya pemeriksaan Rp 5.000. Padahal, jika tanpa tindakan apa-apa, seharusnya tidak dipungut biaya. Apalagi, petugas tidak memberi karcis retribusi apa pun.

Di poli umum itu, pemeriksaan kesehatan hanya sekitar lima menit. Berbekal resep yang diberikan petugas, Jawa Pos menuju apotek dan mendapatkan tiga jenis obat. Yakni, antibiotik, obat mag kunyah, serta obat pereda panas. Total waktu pelayanan relatif singkat, sekitar 10 menit.

Selasa (22/7), Jawa Pos kembali ke Puskesmas Krembangan Selatan untuk memastikan apakah tarif tidak resmi tersebut masih diberlakukan. Ternyata memang benar. Petugas pendaftaran meminta tarif Rp 5.000 untuk karcis warna kuning (pengobatan). Padahal, di karcis itu jelas-jelas tertera tulisan Rp 2.500. ''Kalau pasien baru memang Rp 5.000,'' tegas petugas loket ketika dikonfirmasi tentang tulisan Rp 2.500 di karcis.

Di poli umum, tarif berobat ternyata berbeda dari sebelumnya. Pada kunjungan pertama, Jawa Pos dikenai Rp 5.000, kunjungan kedua hanya Rp 2.500.

Di ruang pengambilan obat, tampak sejumlah pasien antre. Saat ditanya Jawa Pos, mereka mengungkapkan bahwa tarif untuk pasien baru memang Rp 5.000. ''Saya ini pasien baru. Waktu di loket, diminta bayar Rp 5.000. Waktu di dalam hanya Rp 2.500. Obatnya gratis,'' jelas pasien perempuan berinisial W.

Ada juga pasien lama yang ternyata tetap dikenai Rp 5.000 di loket pendaftaran. Contohnya, pasien dari Kelurahan Kemayoran yang bertemu Jawa Pos di Puskesmas Krembangan pada 22 Juli lalu. Dia mengaku sering datang ke puskesmas itu dan selalu dikenai tarif Rp 5.000 di loket pendaftaran. ''Saya pernah membawa anak saya ke puskesmas ini. Di loket, saya membayar Rp 5.000. Waktu pemeriksaan, saya membayar lagi Rp 2.500,'' ungkap pasien berinisial Y tersebut.

Dia juga menceritakan, tarif sebesar itu sejak lama diberlakukan Puskesmas Krembangan. ''Saya langganan di sini kok. Kalau anak saya tidak berobat di sini, tidak sembuh. Wong dia disentuh dokternya saja langsung sembuh,'' ujarnya mantap.

Bagi dia, tarif sebesar itu -meski tidak sesuai tulisan resmi di karcis- sangatlah murah. Betapa tidak, dia mengungkapkan, hanya berbekal Rp 7.700, dirinya sudah bisa mengobatkan anaknya. ''Anak saya sehat dan sudah dapat obat lagi. Coba kalau saya bawa ke dokter umum. Biaya berobatnya bisa mencapai ratusan ribu,'' tegasnya.

Kepala Puskesmas Krembangan Selatan Dayanti Dadiningrum menjelaskan, alur pengobatan di puskesmas dimulai ketika pasien mendaftar untuk berobat di loket. Di situ, pasien dikenai pembayaran Rp 2.500 untuk retribusi. ''Tapi, untuk pasien baru Rp 5.000 ribu,'' jelasnya.

Biaya tambahan Rp 2.500 itu, kata dia, digunakan untuk pengadaan plastik dan administrasi folder. ''Supaya data rapi. Dan itu sudah sejak dulu. Saya di sini baru beberapa bulan,'' katanya.

Dari loket, jelas dia, petugas akan merujuk pasien ke poli umum, KIA (kesehatan ibu dan anak), atau poli gigi. Di poli tersebut, pasien diperiksa oleh petugas atau dokter yang jaga. Retribusi yang harus dibayar untuk pemeriksaan kesehatan tersebut sebesar Rp 2.500. ''Setelah itu, pasien bisa mengambil obat ke apotek, kecuali jika pasien diminta untuk periksa di laboratorium,'' ungkapnya.

Ketika dikonfirmasi adanya pembebanan tarif pengobatan Rp 5.000, Dayanti terdengar bingung. ''Mestinya hanya Rp 2.500. Nanti saya cek lagi,'' tegasnya.

Tentang jumlah pasien yang berobat ke puskesmasnya, dia menyebut angka 100 orang per hari. Pada 2007, total pasien yang berkunjung ke puskesmas tersebut mencapai Rp 32.805 orang. Jika separo saja pasien itu diperlakukan seperti pasien baru (dibebani tarif Rp 5.000 saat di loket), keuntungan tak resmi yang diraup puskesmas mencapai Rp 42,5 juta (Rp 2.500 x 17.000). Itu hanya keuntungan yang diperoleh dari penerimaan loket, belum tarif tak resmi pemeriksaan di poli. Atau, markup biaya pengobatan Rp 10.000 yang ternyata ada yang dikenai Rp 15 ribu.

Dinkes Belum Tahu

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya dr Esti Martiana Rachmie menegaskan bahwa tarif loket karcis puskesmas hanya Rp 2.500 per pasien. Tarif itu berlaku untuk pasien baru maupun lama. Pasien maskin (masyarakat miskin) tidak dikenai biaya sama sekali. Hal tersebut sesuai Perda No 11/2003 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kota Surabaya.

''Mulai pelayanan awal hingga pengambilan obat, pasien hanya ditarik Rp 2.500,'' ujarnya.

Biaya tambahan muncul ketika pasien mendapatkan tindakan medis. Di antaranya, perawatan luka ringan, pasang kontrasepsi, pencabutan gigi, khitan, persalinan dengan faktor penyulit, atau USG. Hal yang sama dibebankan untuk pemeriksaan laboratorium. Mulai pemeriksaan darah, tinja, urine, atau pap smear. ''Tarifnya sudah tertera dalam perda. Tiap ada tindakan medis atau pemeriksaan medis, harus ada tanda buktinya,'' tegasnya.

Jika muncul biaya melebihi ketentuan, Esti meminta masyarakat menanyakan lebih lanjut kepada petugas puskesmas. ''Harus tanya untuk apa bayar lagi. Jika alasannya tak masuk akal, sebaiknya ditanyakan lagi,'' ucapnya.

Mengenai pungli di Puskesmas Krembangan Selatan, Esti berjanji segera mengecek. Caranya bisa melakukan inspeksi mendadak (sidak) atau memanggil kepala puskesmas tersebut untuk konfirmasi. ''Saya akan menindak tegas bila hal tersebut benar-benar terjadi,'' katanya. (kit/ai)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar