Selasa, 24 Februari 2009

Perempuan Berkalung Sorban





23-02-2009
Perempuan Berkalung Sorban Dianggap Melecehkan Islam

Perempuan Berkalung Sorban menimbulkan banyak kontroversi. Film berdasarkan buku karya Abidah El-Khaliqey menceritakan kisah Anissa, putri seorang kyai. Anissa sangat ingin kuliah, tapi dipaksa ayah untuk menikah. Suaminya memukuli dan memperkosanya. Kritikan terutama datang dari sejumlah kyai. Bagaimana sutradara Hanung Bramantyo menanggapi semua kritik ini?

Hanung Bramantyo [HB]: Beberapa kelompok-kelompok Muslim, itu tidak semuanya menentang film ini. Kelompok-kelompok Muslim seperti MUI yang notabene di dalamnya itu berisi kyai-kyai yang laki-laki, itu memang menentang film ini. Apa pun caranya mereka akan membuat semacam rasionalisasi, bahwa film ini dianggap melecehkan Islam.

Padahal sebenarnya kalau kita lihat film ini, itu justru malah mengembalikan pemahaman Islam terhadap posisi perempuan di mata Qur'an dan Hadis. Tetapi mereka seperti tidak menerima film ini, karena dianggap melecehkan Islam.

Radio Nederland Wereldomroep [RNW]: Jadi salah satu kritikan yang santer memang itu ya, melecehkan Islam dan mendiskreditkan Islam. Apakah mas Hanung bisa menerima kritik itu, bahwa ada kebenaran dalam kritik-kritik tersebut?

HB: Sebuah film itu kan memiliki multi-interpretasi. Saya sih merasa bahwa wajar, ketika ada kontra, ada yang pro, itu buat saya wajar sekali. Tetapi ketika yang kontra itu kemudian mengklaim secara hegenomi, bahwa film ini menyesatkan umat Islam, seluruh umat Islam di Indonesia, saya ya menolak itu. Karena klaim itu sebenarnya tidak berdasar.

RNW: Apa yang membuat mas Hanung tertarik untuk memfilmkan cerita tentang Anissa ini?

HB: Sebenarnya itu adalah persoalan personal di dalam diri saya. Bahwa di era modern seperti ini, masih ada praktek-praktek orang tua yang memaksakan kehendaknya kepada anak perempuannya, terutama dalam hal pernikahan. Dan anehnya praktek-praktek pemaksaan pemikiran orang tua itu, selalu mengambil ayat-ayat Qur'an untuk melegitimasi praktek-praktek pemaksaan pemikiran itu.

RNW: Tapi kalau kita lihat pesan dari PBS ini, ini nampaknya cukup berbeda sekali dengan pesan dalam film sebelumnya yaitu Ayat-Ayat Cinta di mana, di situ bahkan seolah-olah Anda mendukung poligami, sedangkan di sini adalah pemberontakan seorang santri perempuan, santri Muslim begitu?

HB: Itu dia yang menjadi aneh kan buat saya. Ketika saya memberikan film yang berisi justru yang memposisikan perempuan itu lemah di Ayat-ayat Cinta, justru malah penontonnya banyak sekali. Tidak ada kontroversi apa pun dari MUI, baik itu dari kelompok-kelompok Islam yang lainnya.

Artinya dengan begitu membuktikan bahwa sistim sosial di dalam masyarakat Muslim di Indonesia, itu masih sangat patriarkal yang memposisikan kyai itu adalah sosok yang tidak bisa salah. Kemudian pesantren adalah sebuah lembaga yang seolah-olah juga tidak ada yang salah.

RNW: Jadi apakah Anda membuat film PBS ini untuk menandingi, atau mengimbangi Ayat-Ayat Cinta sebelumnya mas?

HB: "Sebenarnya tidak juga. Karena setiap film, setiap karya itu kan adalah proses pembentukan karakter si kreatornya." Sementara penulis buku Abidah el-Khaliqey mengatakan, dari buku sebenarnya tidak ada kontroversi.

Abidah el-Khaliqey [AK]: Ini ironi. Lucunya karena para pengkritik ini, atau yang kontra ini kebetulan tidak mau menonton film ini. Mungkin mereka juga belum membaca bukunya. Mungkin dari pihak ketiga, mereka memberi komentar itu, ada semacam diskomunikasi.

Yang mereka kontroversikan itu sebetulnya yang kita kritik dalam buku ataupun dalam film. Jadi isinya sama. Apa yang mereka kritik juga sebetulnya itu juga yang kita kritik. Jadi apa yang mereka maksudkan ini seakan-akan melecehkan Islam, Islam membatasi gerak perempuan, justru ini.

Ini sebetulnya yang ingin kita suarakan. Bahwa Islam sebetulnya tidak melecehkan perempuan, tidak melecehkan pesantren dan tidak membeda-bedakan antara derajat perempuan dan laki-laki, itu sama.

Yang mereka sangka bahwa Islam itu begini-begini. Islam itu membatasi. Ini sebetulnya isi dari dialog dalam film itu.

RNW: Jadi apakah menurut anda film PBS ini mewakili atau memberikan pesan yang sesuai dengan pesan yang ingin mbak Abidah sampaikan lewat bukunya?

AK: Ya, kalau secara visi dan misi sebetulnya sama antara film dengan bukunya. Tentang penggambaran, bahwa film itu memiliki ketentuan-ketentuan sendiri. Dan mas Hanung membuat film, saya membuat buku.

Tentu saja dalam penggambaran itu berbeda antara buku dengan film. Tapi secara visi dan misi sebenarnya sama, seirama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar