
Kamis, 11 Juni 2009 / dutamasyarakat.com
Untuk memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin, Kabupaten Gresik menggelontorkan miliaran anggaran. Hanya, ada anggapan jika program itu hanya sekadar mengejar prestasi. Toh belum tentu sudah tepat sasaran. Benarkah?
Memang, tak jarang program itu hanya menyentuh sebagian masyarakat miskin, sehingga masih banyak masyarakat yang benar-benar miskin belum tersentuh. Bahkan, informasinya ada warga miskin yang ditolak oleh unit pelayanan kesehatan atau rumah sakit hanya gara-gara namanya tidak tercantum dalam database kepesertaan anggota Jamkesmas dan Jamkesmasda.
Namun, di balik pro kontra program kesehatan murah menjadi beban bagi setiap unit pelayanan kesehatan di Gresik. Sementara, bergulirnya program kesehatan murah secara tidak langsung mempengaruhi keberlangsungan sejumlah rumah sakit swasta yang mulai banyak ditinggalkan, karena semakin banyaknya pasien berobat memilih rumah sakit negeri dengan alasan mendapat pelayanan gratis.
Seperti yang terjadi di Rumah Sakit (RS) Ibnu Sina milik Pemkab Gresik.� Akibat semakin banyaknya pasien tidak mampu membayar biaya pengobatan, menjadikan manajemen rumah sakit kewalahan menerima pasien.
Baik dari Gresik maupun luar kabupaten. Akibatnya, manajemen rumah sakit harus pandai-pandai mengatur keuangan rumah sakit. Jika terjadi kesalahan, maka risikonya akan mempengaruhi operasional kebutuhan rumah sakit.
�Bisa-bisa rumah sakit tutup, akibat tidak sebandingnya antara pengeluaran dengan pendapatan. Belum lagi jika klaim anggaran untuk Jamkesmas dan Jamkesmasda telat dalam pencairannya,�kata wakil Direktur RS Ibnu Sina, Titi Dyah Widowati.
Tidak hanya itu. Sejak diberlakukannya Peraturan Bupati Nomor 73 tahun 2008 tentang Pelayanan Hemodialisa berkaitan dengan penetapan tarif lebih murah khusus bagi pasien tidak mampu yang tidak dilayani jamkesmas, cukup menunjukkan KTP Gresik. Sedang yang bukan warga Gresik diberi keringanan 50 persen dengan menunjukkan surat keterangan tidak mampu (SKTM).
�Inilah yang membuat pihak rumah sakit serba dilema. Sebab, memberhentikan cuci darah akan berakibat fatal bagi pasien, padahal rumah sakit tidak bisa melayani secara terus menerus pasien dari luar Gresik karena keterbatasan anggaran,�tandas Direktur Rumah Sakit Ibnu Sina Gresik, Gusti Rizaniansyah Rusdi.
Apalagi sejak dikeluarkannya ketetapan dari Departemen Kesehatan, bahwa kuota jamkesmas hanya berlaku bagi warga yang tercatat di kabupaten setempat, bukannya pasien dari luar kabupaten. Maka dari itu, pihak rumah sakit telah mengirim surat kepada masing-masing kabupaten untuk bisa menanggung masyarakatnya dalam berobat di rumah sakit.
�Hingga kini, masih Kabupaten Mojokerto yang sudah memberikan jaminan biaya warganya yang menjadi pasien tetap cuci darah di RS Ibnu Sina, Gresik,�ujarnya sembari mengatakan jumlah pasien gagal ginjal yang terdaftar menjalankan cuci darah di RS Ibnu Sina cenderung naik. �Saat ini tercatat 142 pasien, dari jumlah tersebut 40 pasien di antaranya berasal dari luar Gresik,� tegas dia.
Menyikapi berbagai program kesehatan gratis ini, Ketua Komisi D DPRD Gresik Syafiqi MZ, menilai progran �sharing� kesehatan antara pemprop dan kabupaten dinilai membebani kabupaten. Sebab, bicara masalah gratis, jauh hari sebelumnya Gresik telah mencanangkan program pelayanan kesehatan dasar di puskesmas dan rumah sakit dalam bentuk jaminan kesehatan masyarakat daerah, yang anggarannya mencapai Rp21 miliar. Dari total Rp100 miliar lebih anggaran yang dikucurkan untuk pos kesehatan dalam APBD 2009.
Dalam sharing itu, pihak Pemkab diminta menanggung 60 persennya, sedangkan propinsi hanya 40 persen. Semestinya, karena propinsi yang mempunyai gagasan, pembebanan biaya kesehatan harus lebih tinggi dari pada kabupaten. Selain itu perlu ada kejelasan mengenai tujuan, hingga peruntukan program kesehatan tersebut. Itu supaya tidak terjadi tumpang tindih antara program jamkesmas, jamkesmasda, dan PPKJG. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar