Selasa, 24 Februari 2009

Pemerintah harus Tingkatkan Kesejahteraan Hadapi Fenomena Ponari

Selasa, 24 Februari 2009 13:56
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Front Persatuan Nasional (FPN) Agus Miftach mengatakan, pemerintah harus meningkatkan kesejahteraan dan keadilan kepada masyarakat guna menghadapi fenomena pengobatan bocah "batu petir" Ponari (10) yang mendapat kepercayaan ribuan masyarakat di Jombang, Jatim.

"Fenomena Ponari yang berasal Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang, Jatim, memiliki akar yang kuat dalam sejarah spiritualisme dan antropologi bangsa Indonesia karena selama lebih 1300 tahun bangsa Nusantara menganut Shiwa-Buddha dengan tradisi mitologi yang sudah merasuk dalam konstitusi jiwa," katanya di Jakarta, Senin.

Pemimpin Jamaah Wahdatul Ummah itu mengatakan, kebijakan pemerintah dan fatwa MUI, dirasakan kurang mempedulikan dengan posisi rakyat, seperti aksi penggusuran PKL yang kejam oleh Satpol PP dan fatwa keharaman rokok yang merugikan para petani tembakau, maka rakyat melakukan langkah regresi dan menemukan pijakan pada mistisisme.

"Kebangkitan mistisisme tradisional ini menemukan momentum dengan munculnya bocah batu petir Ponari. Ponari menjadi figur stimulus yang menghubungkan kejiwaan masyarakat dengan basis mistisisme tradisional yang pernah menjadi 'mainstream' di masa lalu, dan sesungguhnya masih eksis di bawah kesadaran hingga masa kini," ujarnya.

Sedangkan, dakwah Islam belakangan yang dinilai dangkal dan diwarnai aksi kekerasan, kata Agus, belum mampu menembus sistem tradisional mistisisme ini, bahkan mendapat perlawanan diam-diam yang cukup efektif.

"Melalui figur bocah batu petir Ponari yang jujur, polos tanpa rekayasa, rakyat menemukan tingkat kepercayaan yang tinggi untuk mencapai pertolongan dan harapan. Pertama soal kesembuhan dari penyakit, nanti akan meningkat ke soal rezeki dan soal-soal kehidupan lainnya," ujarnya.

Menurut Agus, ini memang fenomena kemiskinan dimana sistem obyektif tidak mampu menjawabnya, maka rakyat akan mencari jawaban ke dalam perbendaharaan ketidaksadaran kolektifnya dan memanggil kembali kedalam kesadarannya nilai-nilai tradisional yang melekat dalam konstitusi jiwa orang Indonesia.

"Pemerintah, MUI atau lembaga formal apapun tidak akan mampu melarang fenomena mistisisme tradisional ini, tanpa melahirkan ekspektasi baru dari sistem sosial yang kini diberlakukan," katanya. (ant/mad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar