Jumat, 31 Juli 2009

Merampok pun boleh, asal untuk jihad




Membedah Organisasi Kematian Noordin / dutamasyarakat.com
Merampok pun boleh, asal untuk jihad

Menyuruh orang bunuh diri, tentu bukan perkara gampang. Tetapi, Noordin M. Top bisa melakukannya. Bagaimana bisa?

Entah kharisma apa yang ada pada diri warga Malaysia ini, sehingga selalu saja ada orang yang direkrutnya hanya untuk mati.

Dia adalah pemimpin Pondok Pesantren Lukmanul Haqiem, Johor, Malaysia, menggantikan Mukhlas, warga Indonesia yang juga pernah menjadi pemimpin di pondok yang sama. Dicurigai menjadi sarang teroris, pemerintah Malaysia membredel pesantren itu awal 2000-an.

Alumni Lukmanul Hawiem kebanyakan mengungsi ke Indonesia, seperti Noordin M. Top, Azhari Husin, Mukhlas (Ali Gufron) dan sejumlah teman-temannya. Berada di pulau Sumatera dan Jawa, kemudian menebar teror ke seantero republik. Sejak 2000 itu pula, teroris di Indonesia paling populer dengan aksi bom bunuh dirinya yang sebelumnya belum pernah terdengar.

Kelompok Noordin ini memang memiliki tim sendiri untuk merekrut orang yang rela mati. Salah seorang tokoh perekrutnya adalah Iwan Dharmawan alias Rois. Komandan lapangan pengeboman kantor Kedutaan Besar Ausralia, Kuningan, Jakarta Selatan, ini mendirikan kamp pelatihan di Gunung Peti, Cisolok, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.

Menurut temuan polisi, tempat ini dirancang untuk memilih pelaku bom bunuh diri. Rois ditangkap pada November 2004 di Bogor, dia dijatuhi hukuman mati pada Juli 2005.

Tim perekrut lainnya adalah Jabir yang bernama asli Gempur Budi Angkoro. Jebolan Pondok Ngruki ini sudah terlibat sejak awal aksi terorisme bersama Noordin. Anggota Jamaah Islamiah dari Madiun inilah yang merekrut Salik Firduas, pelaku bom bunuh diri pada Bom Bali II. Jabir tewas dalam dalam sebuah penggerebekan 29 April 2006 di Wonosobo, Jawa Tengah.

Salain Jabir ada lagi Harun alias Syaiful alias Fathurrobi. Dikenal sebagai instruktur group Cimanggis, Maret 2004. Dia bersama Rois merekrut para pemuda yang kemudian ambil bagian dalam pemboman September 2004. Mujahid Ambon dan Poso ini kini sedang menjalani hukuman 9 tahun penjara.

Setelah perektrutan, pemuda-pemuda yang rela bunuh diri itu akan digembleng Baharudin Soleh alias Abdul Hadi, seorang teman dekat Noordin. Biasanya mereka akan diberi tambahan intruksi yang dikaitkan dengan agama. Pengeboman Kedutaan Besar Australia dan Bom Bali II adalah hasil gemblengannya. Soleh juga tewas dalam penggerebekan 29 April 2006 di Wonosobo, Jawa Tengah.

Buah gemblengan mereka antara lain adalah Iqbal alias Arnasan alias Lacong, pelaku bom bunuh diri di Bali 2002. Sebelum mati, Iqbal sempat meninggalkan pesan dalam sebuah video. Dia berharap kematiannya memberi inspirasi kepada yang lain untuk mengembalikan kebesaran Negara Islam Indonesia yang dicita-citakan Kartosoewirjo.

Kemudian ada Asmar Latin Sani, yang meledakkan bom berikut dirinya sendiri pada peristiwa Marriott 2003, Jakarta. Santri jebolan Ngruki 1995 diketahui sebab, setelah truk yang dibawanya meledak, potongan kepalanya ada di sebuah lantai.

Selanjutnya ada Heri Golun, pelaku bom bunuh diri pemboman Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jakarta Selatan, September 2004.

Setelah itu muncul pula Misno, pelaku bom bunuh diri di Caf� Manega, Jimbaran, Bali 1 Oktober 2005. Putra penggarap ladang di Cilacap yang cuma berpendidikan sekolah dasar ini tewas dalam usia 23 tahun.

Di hari yang sama, ikut ambil bagian Salik Firdaus yang meledakkan dirinya di Caf� Nyoman, Jimbaran, Bali 1 Oktober 2005. Dia seorang ustad yang mengajar di pesantren al-Mutaqien, Cirebon.

Bom bunuh diri juga yang meledak di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlon, Mega Kuningan, Jakarta, pada Jumat 17 Juli 2009. Dua pelaku ini hingga hari ini belum diketahui identitasnya. Polisi masih mencari tahu siapa mereka sebenarnya.

Adapun mereka yang pernah mendapat gemblengan untuk aksi bunuh diri namun kemudian dibatalkan adalah Anif Solchanudin. Dia direkrut sebagai pelaku bom bunuh diri yang keempat untuk Bom Bali II. Belakangan ditangkap pada November 2005, dengan tuduhan menampung Noordin.

Kemudian Apuy �Syaiful Bahri� anggota Ring Banten dari Cigarung, Sukabumi, terlibat dalam bom Kedubes Australia 2004. Dia juga awalnya terpilih sebagai calon pelaku bom bunuh diri. Ditangkap November 2004 di Bogor, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, September 2005.

Nasib setupa juga dialami Chandra alias Farouk. Diduga awalnya dia direkrut untuk bunuh diri. Belakangan batal, dia hanya menampung Noordin dalam pelariannya.

Mekanisme alamiah

Jaringan ini seperti punya mekanisme alamiah untuk mengisi kekosongan pemimpin. Noordin sebelum bom Marriott, dua tahun lalu, bukanlah figur sentral. Pada bom Bali 2003 dan rangkaian bom malam Natal 2000, nama yang kerap disebut-sebut sebagai arsitek teror adalah Hambali dan Imam Samudra (juga kerap dipanggil Kudama).

Hambali banyak membantu pendanaan. Imam terlibat dalam eksekusi lapangan. Saat itu, sosok Hambali dan Imam Samudra sama mencekamnya dengan duet Azahari-Noordin.

Era kejayaan Hambali dan Imam dalam blantika teror surut setelah mereka ditangkap. Imam ditangkap di Serang, Banten, November 2002. Hambali dicokok di Thailand, Agustus 2003, sepuluh hari setelah ledakan bom Marriott. Sebelum Hambali, sejumlah aktor kunci bom Bali I juga diringkus, termasuk tiga bersaudara Mukhlas, Amrozi, dan Ali Imron.

Mereka semua tokoh kunci jaringan pengebom generasi awal. Menurut Nasir Abas, mantan Ketua Mantiqi III JI (wilayah Sabah, Mindanao, dan Poso), pada 1997 Hambali adalah Ketua Mantiqi I JI (wilayah Malaysia-Singapura).

Hambali membawahi Wakalah Johor yang dipimpin Mukhlas (terpidana mati bom Bali). Mukhlas membawahi sejumlah Kirdas (pleton), salah satunya diketuai Nasir Abas. Nasir membawahkan beberapa Fiah (regu), salah satunya diketuai Noordin. Di antara anggota Noordin adalah Azahari.

Tengoklah, betapa Noordin dan Azahari saat itu berperan di struktur pinggiran, jauh di bawah Hambali dan Mukhlas. Namun, setelah Hambali dan Mukhlas ditangkap, Noordin melesat di garda depan.

Ia memulai karya terornya lewat bom Marriott. Bisa jadi, kalaupun kelak Noordin ditangkap, sejauh spirit jihad ala Noordin masih bergelora, maka figur-figur ideologi baru akan mengemuka. Sebagaimana siklus mengemukanya Noordin.

Hanya saja, kemunculan kepemimpinan teror pasca-Noordin-Azahari tampaknya akan menghadapi situasi lebih sulit. Pasokan dana, misalnya, tak selancar dulu lagi.

Kapolri (saat itu) Jenderal Sutanto menilai, persediaan dana jaringan Azahari makin menipis. Maka, jenis bom yang dirakit di kontrakan terakhir Azahari berukuran kecil-kecil. Bisa jadi, karena faktor dana juga, daya ledak bom Bali II lebih rendah ketimbang bom-bom sebelumnya.

Jaringan ini pernah menikmati limpahan dana lumayan besar saat menyiapkan bom Bali I. Nilainya US$ 30.000 plus 200.000 baht Thailand. Dana itu disediakan Hambali di Malaysia lewat Bendahara JI, Wan Min Wan Mat.

Pengiriman menggunakan jasa kurir, Fadil, seorang anggota JI, yang menemui Mukhlas di Johor. Bom Marriott juga masih menerima bantuan Hambali. Nilainya lebih besar: US$ 50.000, yang diselundupkan lewat perbatasan Malaysia-Riau.

Dana tersebut berasal dari Khalid Syah Muhammad, penghubung Osama bin Laden, di Pakistan. Adik Hambali, Gun Gun Gunawan, ketika kuliah di Pakistan, membantu Hambali menguruskan pencairan dana itu. Karena peran itu, Gun Gun divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Oktober 2004. Dana sebesar itu diperkirakan tak habis untuk bom Marriott. Bom Kuningan, setahun kemudian, diduga menggunakan sisa anggaran dari Pakistan itu.

Setelah Hambali ditangkap, suplai dana tak lagi lancar. Cara menyiasatinya, jaringan Noordin-Azahari merapat ke aktivis NII. Rois dan Heri Golun yang terlibat bom Kuningan adalah aktivis NII. Di organisasi ini, tersedia dana fa�i (rampasan perang) yang dikumpulkan dari setoran warga. Tohir dan Ismail, terpidana bom Marriott, kepada polisi mengaku pernah diminta Azahari merebut pistol polisi sebagai bagian fa�i.

Sumber fa�i tampaknya bukan sekadar alternatif saat pasokan Hambali seret. Buktinya, dua bulan menjelang bom Bali I, terjadi perampokan Toko Emas Elita Indah, Serang, Banten. Pelakunya, Andri Octavia, meminjam senjata dari Imam Samudra. Duit Rp 5 juta dan emas 2,5 kilogram hasil rampokan yang tadinya untuk biaya jihad ke Poso dialihkan untuk tambahan biaya mengebom Bali. Atas nama fa�i, NII membolehkan merampok.

Ekspansi ke kalangan NII juga dimaksudkan untuk menyiasati makin sempitnya ruang gerak rekrutmen tenaga jihad baru. Karena di internal jaringan inti JI makin banyak kalangan yang menentang pengeboman. Aksi-aksi Noordin dan Azahari dianggap �lepas kendali�. Sementara eksponen JI yang pro-Noordin sudah banyak ditangkap.

Friksi internal JI itu dipaparkan Nasir Abas. Dalam bukunya, Membongkar Jamaah Islamiyah, ia menyatakan, setelah meledak bom malam Natal 2000 di berbagai gereja, banyak anggota JI yang marah pada Hambali, otak pengeboman itu.

Hambali dinilai melanggar ajaran Rasulullah, yang melarang merusak tempat ibadah orang lain dan membunuh warga sipil. Keretakan makin serius setelah bom Bali I. Namun Hambali mendapat dukungan dari aktivis JI lainnya: Mukhlas, Imam Samudra, Dulmatin, Noordin, dan Azahari. Kondisi ini juga diperparah oleh kepemimpinan yang makin lemah pasca-meninggalnya Abdullah Sungkar (1999).

Laporan International Crisis Group pimpinan Sidney Jones pada Agustus 2003 pun sudah lama mensinyalir keretakan internal JI. Ceramah Jones di Australia, 15 September lalu, berjudul �The Changing Face of Terrorism in Indonesia�, memetakan JI jadi dua.

Pertama, �JI Baru�, yakni JI minus bomber. Terdiri dari faksi yang menentang pengeboman. Kedua, kelompok Noordin-Azahari. Faksi muda ini terus mengobarkan aksi pengeboman. Mereka menilai pimpinan JI malas dan tak lagi memperhatikan jihad.

Akibat friksi ini, Noordin tidak hanya merangkul aktivis NII, melainkan juga merayu para mantan mujahidin Ambon. Ini tampak ketika Noordin melobi Abdullah Sunata, figur sentral di kalangan eks jihad Ambon. Ia kerap memperantarai keberangkatan sejumlah aktivis yang akan berjihad ke Mindanao, Filipina Selatan. Noordin mungkin ingin mengulang sukses bekerja sama dengan Rois. Sunata ditangkap Juli lalu, hampir berbarengan dengan 15 aktivis lain asal Solo.

Dalam BAP Polisi, disebutkan, Noordin melobi Sunata pertama kali pada November 2004 di Pekalongan, Jawa Tengah. Ia ingin menyamakan persepsi tentang jihad. Sunata diajak bekerja sama dalam aksi bom bunuh diri. Sunata baru memberi jawaban sebulan kemudian di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Jawaban Sunata mengagetkan Noordin. �Saya sudah memusyawarahkan dengan teman-teman. Kesimpulannya, tidak bisa bekerja sama dengan antum,� ujarnya. Kepada polisi, Sunata menyampaikan tiga alasan penolakan. Pertama, dengan aksi itu, aktivis Islam bisa ditangkapi sembarangan. Kedua, program itu memperburuk citra Islam dan membunuh gerakan dakwah. Ketiga, Sunata tidak setuju pemakaian bom di luar wilayah konflik.n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar